Otopsi Karier: Bagaimana Sistem Menerapkan 'Second Impact Syndrome' untuk Menghabisi Whistleblower
Kamu lihat 'atlet' bintang di tim, kan? Karyawan yang vokal, kritis, tapi brilian. Dia membawa masalah nyata ke manajemen. Itu 'gegar otak' pertama. Sistem—sang pelatih—terguncang.
Apa yang terjadi selanjutnya? Si 'atlet' tidak diistirahatkan. Dia tidak didengar. Malah, dia didorong kembali ke 'lapangan'—diberi proyek mustahil, diisolasi, atau dimutasi. Dia masih pusing dari pukulan pertama.
Lalu, dia tak punya pilihan selain gagal, atau bersuara lagi. Dan BUM. Itu 'pukulan kedua'.
KONTEN VERSI TANPA FILTER
Suka dengan artikel ini? Di channel Telegram kami, pembahasannya lebih liar. Dapatkan curhatan produk, tips-tips getir, dan renungan harian yang tidak akan kamu temukan di tempat lain.
Gabung Gratis di Channel SEP!KIni yang kami, para insider, sebut sebagai Second Impact Syndrome korporat. Di dunia medis, SIS bisa berujung kematian seketika akibat pembengkakan otak masif. Di dunia korporat, itu adalah PHK, penghancuran reputasi, atau... penghilangan paksa dari struktur.
Ini bukan kecelakaan. Ini adalah protokol eliminasi yang sangat efisien. Sistem tahu persis apa yang dilakukannya. Pukulan pertama adalah peringatan. Pukulan kedua adalah eksekusi. HR tidak akan memberitahumu ini. Tugas saya adalah menunjukkan otopsinya.
Mereka tidak ingin 'memulihkan' si atlet. Mereka ingin membuat contoh dari cederanya. Mereka sengaja menciptakan kondisi agar benturan kedua itu terjadi, karena itu memberi mereka justifikasi untuk 'mengeluarkan' si atlet dari permainan secara permanen. 'Demi kebaikan tim', kata mereka. 'Demi stabilitas perusahaan'. Padahal, itu semua demi kekuasaan.