Krisis Teleologis: Saat Perusahaan Memilih Menjadi Museum Daripada Rumah Sakit Gawat Darurat
Sebagai mantan orang dalam HR, saya sudah kenyang melihat ini. Kamu pikir perusahaan merekrut pemimpin untuk menyelesaikan masalah? Betapa naifnya.
Mari kita bedah pakai pisau filsafat: Teleologi. Ini adalah studi tentang 'tujuan' atau 'telos'. Pisau punya 'telos' untuk memotong. Rumah sakit punya 'telos' untuk menyembuhkan. Nah, perusahaan yang sekarat, katakanlah terlilit utang triliunan, 'telos'-nya seharusnya adalah: bertahan hidup. Setiap keputusan, terutama penunjukan pemimpin puncak, harusnya diukur dari satu pertanyaan: 'Apakah ini membantu kita bertahan hidup?'
Tapi apa yang terjadi di banyak korporasi (terutama yang berbau 'negara')? 'Telos'-nya bergeser. Tujuannya bukan lagi 'bertahan hidup', tapi 'menjaga stabilitas politik internal', 'memberi penghargaan pada kroni', atau 'memasang figur yang 'dihormati' (baca: tua dan punya gelar masa lalu).
KONTEN VERSI TANPA FILTER
Suka dengan artikel ini? Di channel Telegram kami, pembahasannya lebih liar. Dapatkan curhatan produk, tips-tips getir, dan renungan harian yang tidak akan kamu temukan di tempat lain.
Gabung Gratis di Channel SEP!KIni yang saya sebut krisis teleologis. Perusahaan merekrut pemimpin bukan untuk menyelamatkan kapal, tapi untuk memimpin upacara pemakaman kapal. Mereka menunjuk seseorang dari masa lalu, yang keahliannya mungkin relevan puluhan tahun lalu, untuk memimpin pertempuran hari ini. Kenapa? Karena di sistem yang korup, *penunjukan* itu sendiri adalah tujuannya, bukan *hasil* dari penunjukan itu. Jabatan adalah komoditas politik, bukan alat fungsional.
Kamu di bawah disuruh 'agile' dan 'inovatif', sementara di atas, mereka sedang sibuk dengan ritualisme murni. Mereka mempraktikkan gerakan-gerakan manajemen—rapat, memo, penunjukan—tapi sudah lupa apa tujuannya. Mereka membangun museum untuk menghormati masa lalu, padahal yang mereka butuhkan adalah UGD untuk mengobati masa kini.