Otopsi Program 'Wellness' Wajib: Saat KPI HR Meracuni Karyawan dari Dalam
Ada kasus di luar sana tentang program 'makan gratis' skala besar yang berakhir meracuni ribuan korbannya. Orang-orang sibuk mencari 'oknum' vendor yang nakal. Mereka salah fokus. Ini bukan kecelakaan. Ini adalah desain sistemik.
Sekarang, mari kita bawa studi kasus ini ke mejamu. Ingat program 'wellness' wajib terakhir yang diluncurkan HR di kantormu? Seminar 'mental health' oleh motivator yang tidak jelas, atau katering makan siang 'sehat' yang rasanya seperti kardus? Itu adalah analogi langsung.
Dalam diagnosis sosiologis, ini disebut 'Anomie', sebuah kondisi di mana norma (seperti 'kualitas' atau 'keamanan') hancur lebur demi mengejar tujuan (proyek harus jalan, anggaran harus habis). Sosiolog lain menyebutnya 'Teori Kekuasaan' dalam praktik. Program 'wellness' itu ada bukan untuk membuatmu sehat. Itu ada untuk dua alasan: pertama, sebagai alat PR untuk menunjukkan betapa 'peduli'-nya perusahaan. Kedua, sebagai alat patronase untuk membagi-bagi kontrak bernilai besar ke vendor-vendor teman pimpinan.
KONTEN VERSI TANPA FILTER
Suka dengan artikel ini? Di channel Telegram kami, pembahasannya lebih liar. Dapatkan curhatan produk, tips-tips getir, dan renungan harian yang tidak akan kamu temukan di tempat lain.
Gabung Gratis di Channel SEP!KKetika tujuan utamanya adalah citra dan patronase, apa yang terjadi pada kualitas? Tentu saja dikorbankan. Sama seperti makanan yang diracun, kamu 'diracuni' secara psikologis. Kamu dipaksa ikut seminar mental health, tapi di saat yang sama workload-mu ditambah tiga kali lipat. Kamu diberi 'makan siang sehat', tapi kamu harus memakannya di meja sambil rapat.
'Keracunan' di dunia korporat tidak selalu fisik. Ia bisa berupa program munafik yang memaksamu tersenyum untuk laporan KPI, sementara jiwamu perlahan membusuk. Mereka tidak sedang menyehatkanmu; mereka sedang menguji kepatuhanmu sambil memberi makan kroni-kroni mereka.
