Mitos 'Work-Life Balance': Ketika 'Balance' Artinya Cuma Bisa Bernapas Saat Jam Istirahat
Di dunia korporat, 'work-life balance' adalah mantra suci yang terus-menerus didengungkan saat town hall atau sesi motivasi. Katanya, ini adalah kunci kebahagiaan karyawan.
Tapi bagi kita, kaum kelas pekerja, konsep ini seringkali terasa seperti lelucon getir. Keseimbangan macam apa yang mereka maksud ketika notifikasi WhatsApp dari atasan masuk jam 10 malam?
Ilusi Keseimbangan di Era Digital
Realitanya, 'balance' bagi kita lebih sering berarti menyeimbangkan antara porsi kopi dan porsi kurang tidur. Antara menatap layar laptop dan menatap layar ponsel untuk membalas email 'urgent'.
Batasan antara 'work' dan 'life' semakin kabur, menyisakan 'work' yang merembes ke semua aspek kehidupan. 'Life' menjadi sekadar jeda singkat untuk mengisi energi sebelum kembali bekerja.
KONTEN VERSI TANPA FILTER
Suka dengan artikel ini? Di channel Telegram kami, pembahasannya lebih liar. Dapatkan curhatan produk, tips-tips getir, dan renungan harian yang tidak akan Anda temukan di tempat lain.
Gabung Gratis di Channel SEP!KKadang, 'me time' yang kita dapatkan cuma 5 menit di toilet kantor, mencoba mencari ketenangan sebelum meeting berikutnya. Di momen singkat itulah kita butuh 'senjata' kecil untuk reset mental. Bukan, bukan aplikasi meditasi.
Coba deh semprotkan wangi yang mengingatkan lo pada liburan, seperti Bali Surfers Perfume Blue Point for Him. Aroma segarnya seperti tamparan realita bahwa di luar tembok kubikel ini, ada laut dan kebebasan.
Mencari Kewarasan, Bukan Keseimbangan
Pada akhirnya, mungkin kita harus berhenti mengejar mitos 'work-life balance'. Mungkin tujuan yang lebih realistis adalah 'work-life survival'. Bagaimana cara bertahan di tengah gempuran ekspektasi tanpa kehilangan kewarasan. Bukan tentang membagi waktu secara adil, tapi tentang mencuri momen-momen kecil untuk diri sendiri. Menemukan jeda di tengah kebisingan, dan menerima bahwa istirahat bukan kemalasan, melainkan kebutuhan.